Bermasyarakat, berbangsa dan Bernegara (2)

Buang saja yang membelenggu kemerdekaan

Orang-orang tua pada saat pandemi dan diminta untuk vaksinansi banyak yang tidak mau. Ada yang karena omongan orang lain, kemudian tidak percaya kalau ada pandemi. Ada yang tidak mau karena takut, yang disebabkan informasi bahwa vaksinasi itu dimasuki chip agar orang dapat dipantau setiap saat dan dimanapun ia berada. Ada yang sungguh takut dengan kata rumah sakit, dokter dan jarum suntik. Ketika mendengar kata rumah sakit, seseorang sudah mengalami ketakutan. Ada yang mendengar kata dokter juga orang menjadi ketakutan. Apalagi ketika mendengar kata jarum suntik, seseorang bisa jadi pingsan.

Ada hal-hal (perkataan atau pernyataan) yang membuat seseorang menjadi trauma dan takut. Pengalaman menunjukkan bahwa hal ini terjadi ketika masih kecil orang menakut-nakuti dengan maksud agar anak tidak rewel. Misalnya ketika anak rewel dan nangis terus, karena sudah bingung lalu supaya diam ditakut-takuti: "kalau tidak diam nanti saya bawa ke dokter dan disuntik" - Ada yang ditakit-takuti dengan suara cengkerik, atau binatang dll. Penulis sendiri mengalami traumatik seperti itu. 

Ada seperti diciptakan metode atau cara bagaimana menanamkan sesuatu paham dengan menakut-nakuti atau menyesatkan. Mungkin tidak selalu disadari akibatnya yang negatif. Orang menjadi takiut pada jarum suntik, orang takut pada binatang-binatang tertentu, bahkan pandangan yang negatif pada profesi-profesi tetentu. Demikian pula dalam kehidupan beragama,.bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bisa kita lihat di medsos, pernyataan-pernyataan yang menumbuhkan rasa takut. Misalnya, bagi yang tidak mendukung calon atau partai tertentu tidak didoakan ketika meninggal atau dikatakan dosa serta tidak masuk surga. Pernyataan-pernyataan seperti ini sebenarnya tidak sesuai dengan "kebebasan berfikir dan berpendapat" yang dijamin oleh undang-undang dan membelenggu kemerdekaan.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dijamin hak-hak hidup manusia. Dengan jaminan tersebut seseorang mempunyai kemerdekaan untuk memilih jalan hidup masing-masing dengan tidak mengurangi atau mengganggu hak yang sama dimiliki oleh orang lain. Inilah yang namanya "tepa slira". "Tepa slira" berarti menempatkan ukuran pada diri sendiri. Kalau dipukul kita merasa sakit, ya jangan memukul. Kalau diejek kita sakit hati, ya jangan mengejek orang lain. Kalaundirendahkan martabat kemanusiaan kita sakit, ya jangan merendahkan martabat orang lain. Kurang lebih begitulah pengetrapannya dalam hidup sehari-hari. 

Membuang hal yang membelenggu kemerdekaan, sama dengan membuang hal-hal tidak baik yang muncul dari hati. Ada yang tidak baik muncul dari hati yang iri. Iri itu merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain, juga bisa karena cemburu, sirik atau dengki. Apa yang muncul dari iri hati adalah rasa ingin menghentikan, meniadakan, dan menghalangi agar kelebihan-kelebihan yang ada di orang lain itu hilang. Jika kita mau melihat lebih dalam lagi, hal negatif yang muncul dari iri hati adalah "ketidakmampuan seseorang" untuk melakukan hal-hal positif. 

Maka baik jika kita selalu mengembangkan model berpikir positif, berbicara positif dan bertindak positif. Untuk yang ini penulis terinspirasi pada sebuah motto dari lembaga pelayananan pendidikan, dimana penulis pernah ikut mengabdikan diri sekitar 5 tahun. Dengan ini maka tidak ada lagi fitnah, ujaran kebencian, intoleransi, dan tindakan lain yang akan membelenggu kemerdekaan berfikir, berbicara dan bertindak.

Selamat tahun baru 2023, mari kita tapaki setapak demi setapak, harapan dan kabaikan, untuk mencapai Indonesia damai.  

A.B.Gandi



Posting Komentar untuk "Bermasyarakat, berbangsa dan Bernegara (2)"