Hari Minggu tanggal 16 Juni 2024 yang lalu, saya bertemu dengan teman-teman lama yang dulu pernah seperjuangan dalam menerbitkan majalah paroki Lonceng Bintaran. Reunianlah, begitu ceritanya. Acara santai yang betul-betul santai, tidak diacarani Cuma ngobrol “ngetan-ngulon”. Kebetulan tempatnya enak juga untuk ngorbrol, di rumah teman di sekitar Maguwaharjo Yogyakarta.
Ada
yang menceritakan bahwa rumahnya itu sekarang hanya didiami sendiri. Lalu
dipakai untuk kegiatan anak-anak kampung dihalamannya. Disediakan meja pingpong
dan fasilitas lainnya. Tetapi kelompoknya tidak hanya satu tetapi lebih. Nah
terus ada kecemburuan antar kelompok di rumah tersebut, dan dibuatlah isu-isu
oleh kelompok yang merasa paling dulu dan yang merasa memiliki kampung. Pemilik
rumah diteror, mana yang kalau rumahnya kebakaran tidak akan ditolong, dan
kalau ada apa-apa disitu Masyarakat gak mau tahu. Pada hal iuran sampah,
keamanan dan kalau ada apa di kampung pasti ikut dan tertib.
Ada
lagi yang bercerita bahwa ia pernah tidak dianggab sebagai warga lingkungan
selama 2 tahun. Awalnya Ketua Lingkungan ingin mengadakan pendataan baru, dan
masanya pandemi Covod 19 baru galak-galaknya. Dalam masa pandemi tersebut
mayoritas orang sangat berhati-hati untuk keluar dan berelasi dengan orang
lain. Maka ada hambatan untuk mengumpulkan pendataan. Setelah 2 tahun ada
penggantian pengurus lingkungan, maka teman saya tadi baru diajak lagi untuk doa
lingkungan, rosario dan yang jelas 2 tahun tidak keluar uang iuran-iuran
sekarang keluar lagi.
Ada
yang cerita bahwa lingkungannya tidak mau dimekarkan pada hal sudah 60 KK
lebih, Alasannya macam-macam tidak mau dimekarkan, antara lain koornya sudah
bagus maka nggak mau pisah, dll. Sekarang beberapa umat mengeluh dan tindak mau
ketempatan doa lingkungan.Bayangkan doa lingkungan seminggu sekali, dan
kebiasaan nyuguh. Jadi kalau doa lingkungan itu bisa keluar 600 ribu lebih untuk
konsumsi. Semakin lama semakin banyak yang keberatan ketempatan doa lingkungan.
Itulah
keadaan masyarakat dan masyarakat katolik. Dalam Masyarakat yang plural ini
umat katolik masih mengalami kekurangnyamanan dalam berbagai hal. Begini
kelirudan begitu salah, jadi serba salah jadi orang katolik di Masyarakat. Perlakuan
kepadanya kadang-kadang menyesakkan, tetapi dalam hal iuran atau “bot repote”
kampung umat katolik mesti terjun dan berani tombok, tetapi kalau ada yang
enak-enak kadang dilupakan. Masyarakat pada umumnya itu ngewuhke. Dialog kadang
tidak menyelesaikan masalah, karena mereka tidak biasa dan tidak bisa untuk
diajak dialog, kaku dan tidak bisa menerima pemikiran-pemikiran baru.
Kadang
berfikir, betul juga ya Masyarakat itu dibuat bodoh dan tidak mau berfikir
serta dibiarkan miskin. Alasannya supaya bisa menjadi proyek-proyek, bisa diperalat
dan yang miskin kan bisa untuk memberi sedekah, memberi sedekah berbuat amal.
Nanti kalau tidak ada rakyat miskin dan menderita orang beragama tidak bisa
sedekah dan berbuat amal, surganya jadi berkurang.
Dalam
masyarakat katolik sendiri masih banyak juga yang sok main kuasa, apalagi kalau
pengurus tadi kenal dan dekat dengan pastor parokinya. Sifat arogan banyak ditemui
diantara ketua lingkungan, Prodiakon dan pengurus lainnya. Ada saja orang-orang
yang tidak rendah hati setelah menjadi Ketua Lingkungan, Prodiakon dan petugas
lainnya. Marilah kita selalu membuat aksi dan refleksi, begitu seterusnya
sehingga hidup dipermudah tidak menjadi sulit. Hidup itu selalu baru dan
diperbaharui terus menerus sehingga semakin lama semakin baik. Ecclesia semper
reformanda artinya gereja harus selalu memperbaharui diri. Semoga bermanfaat.
Posting Komentar untuk "Ecclesia Semper Reformanda"