Gereja Perlu Serius Perjuangkan Dibatalkannya Kebijakan ini.

Dari kiri: Prof. Dr. Ir Conradus Danisworo, M.Sc.(pakar pertambangan), Dr. Caritas Woro Murdiati, S.H., M. Hum., (hukum pertambangan, adat, dan sengketa hak-hak masyarakat adat), Dr. Antonius Budisusila, M.Soc. Sc. (ekonomi), C.Lilik Krismantoro, SIP, Dr. Agustinus Subarsono, M.Si., M.A. (kebijakan publik), Rm. Dr. Ir. Wiryono Priyotamtama, S.J., M.Sc. (rohaniwan dan pejuang ekologi). Sementara Arya Bima (politik) hadir secara daring. 

Ikatan Sarjana Katolik Indonesia DPD Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wadah intelektual dan akademisi Katolik di Daerah Istimewa Yogyakarta digerakkan oleh kegelisahan akan hal tersebut telah mengundang para pakar pada bidangnya, untuk bersama-sama memaparkan dan mendiskusikan wawasan dan gagasan mereka pada hari Minggu 16 Juni 2024 bertempat di ruang Seminar II, Kampus II Thomas Aquinas Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh dan membangun perspektif secara komprehensif dari berbagai aspek atas pemberian ijin usaha tambang bagi ormas keagamaan oleh Pemerintah, melakukan pembacaan kritis atas kondisi aktual di lapangan, serta merumuskan masukan bagi ISKA DIY, Gereja Katolik, dan masyarakat pada umumnya guna menyikapi hal tersebut.

Kegiatan ini dihadiri oleh kurang lebih 50 peserta dari beberapa aktivis Ormas Katolik ,  aktivis umat Katolik DIY, akademisi/intelektual katolik dan anggota ISKA DPD DIY. Panel narasumber terdiri dari Prof. Dr. Ir Conradus Danisworo, M.Sc.(pakar pertambangan), Rm. Dr. Ir. Wiryono Priyotamtama, S.J., M.Sc. (rohaniwan dan pejuang ekologi), Arya Bima (politik), Dr. Agustinus Subarsono, M.Si., M.A. (kebijakan publik), Dr. Caritas Woro Murdiati, S.H., M. Hum., (hukum pertambangan, adat, dan sengketa hak-hak masyarakat adat), dan Dr. Antonius Budisusila, M.Soc. Sc. (ekonomi).

Prof. Dr. Ir Conradus Danisworo, M.Sc. selaku pakar pertambangan memberi masukan-masukan tajam situasi dan praktik dunia pertambangan di Indonesia. Rm. Dr. Ir. Wiryono Priyotamtama, S.J., M.Sc. memberikan catatan mendalam sebagai rohaniwan sekaligus pelaku perjuangan ekologi menguraikan panggilan ensiklik Laudato Si kepada Gereja Universal agar melakukan pertobatan ekologis, menekankan  perlunya discerment Gereja dalam merumuskan pilihan bisnis untuk mendukung karya-karyanya, serta agar Gereja dan seluruh masyarakat meneruskan berbagai upaya kongkrit dalam melakukan pertobatan ekologis yang sudah dan sedang dilakukan di berbagai lini, terutama dalam upaya konservasi lingkungan di berbagai kawasan di seluruh penjuru Nusantara. 

Rama Dr. Ir. Wiryono Priyotamtama, SJ., M.Sc 
 "Gereja Universal agar melakukan pertobatan ekologis"

Sementara itu politisi senior Arya Bima memberi input terkait dinamika, persoalan, dan praktik politik di balik kebijakan kontroversial tersebut. Beliau mengingatkan pula perlunya kita kembali kepada ekonomi konstitusi. Persoalan dalam rumusan kebijakan yang ada, ketidaksesuaian kebutuhan ormas, aspek subyektivitas pemerintah pada kelompok tertentu, serta dimensi politicking yang kuat di balik peraturan pemerintah ini. Dr. Agustinus Subarsono, M.Si., M.A. sebagai pengajar dan pakar kebijakan publik menggaris bawahi adanya persoalan dalam proses formulasi kebijakan (tidak demokratis, political support yang rendah, isi PP tidak mencerminkan kebutuhan ormas, dan top-down policy), persoalan  dalam isi (melahirkan eksklusivitas dan superioritas kelompok, disparitas antar kelompok yang mendapat benefit daripada yang lain,  akuntabilitas dan justifikasi alasan pemberian prioritas),  serta dampak dari kebijakan tersebut. Menurut beliau Gereja perlu secara serius memperjuangkan dibatalkannya kebijakan ini.

Dr. Caritas Woro Murdiati, S.H., M. Hum. menyampaikan persoalan hukum serius yang dihadapi Pertama, adanya saling lempar tanggung jawab antara pusat dan daerah dalam pengawasan, penanganan konflik, hingga pemulihan lahan bekas tambang. Kedua, kerentanan konflik ormas dan masyarakat, kerentanan terhadap konflik horisontal berbau SARA di wilayah pertambangan, serta kriminalisasi aktivis. Dalam perspektif ekonomi, Dr. Antonius Budisusila menguraikan kepada kita adanya ketegangan antara logika utilitarian dan logika konservasi yang bermain di balik pro kontra kebijakan ini, defisit dalam neraca pemanfaatan SDA versus konservasinya, serta peluang upaya terobosan dalam upaya-upaya konservasi di antaranya pengembangan pasar karbon. Selalu ada langkah terobosan yang mungkin bisa diambil, namun demikian perlu ada dialog terus-menerus antara nalar utilitarian dan konservasi agar ditemukan solusi-solusi pasar yang berkelanjutan.

ISKA DPD DIY melihat bahwa secara umum semua narasumber menyampakan nada penolakan serta kewaspadaan terhadap pasal 83A tersebut. ISKA DPD DIY selanjutnya menyimpulkan hal-hal berikut :

  1. Secara Theologis, ensiklik Laudato Si’ secara tegas telah menyerukan panggilan untuk mendengarkan jeritan ibu bumi, yakni bumi tempat penambangan-penambangan terus berlangsung tanpa etika dan pertimbangan masa depan; serta jeritan si miskin, yakni mereka yang menjadi korban akibat penambangan yang menghancurkan kehidupan masyarakat asli dan di sekitar pertambangan, serta si miskin yang lain yaitu segenap ciptaan lain yang eksistensi dan martabat mereka hancur karena pertambangan;

 

Bahwa agama, khususnya Katolik, serta semua organisasi yang bernaung di bawahnya, ditujukan untuk tujuan transendental dan upaya-upaya mengangkat martabat kehidupan.  Mengutip Mgr. Sugiyapranoto, S.J., dalam Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia II di Semarang, 27 Desember 1954 menyatakan “Gereja Katolik bertugas memelihara, membimbing, dan mengembangkan kehidupan rohani manusia dengan mengurus segala hal yang ada hubungannya dengan agama, peribadatan, kesusilaan, kerohanian yang sifatnya tetap, kekal, surgawi, dan mengatasi kodrat.”;

 

Bahwa dalam menjalankan tanggung jawab pengembangan umat tersebut dibutuhkan sumber daya finansial tidak dapat dipungkiri, namun demikian prinsip-prinsip dasar ajaran iman Katolik tidak boleh ditinggalkan. Untuk itu dibutuhkan discernment terus-menerus dalam upaya pengembangan usaha-usaha produktif demi mendukung misi Gereja tersebut.

 

  1. Dari sisi pertambangan. Bisnis pertambangan sangat diwarnai dengan berbagai bentuk perilaku bisnis dan politik yang tidak sehat. Pertambangan secara riil sejauh ini juga belum berhasil menunjukkan praktik pertambangan yang lestari dan ramah lingkungan. Penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki organisasi kemasyarakatan keagamaan di sektor pertambangan dapat menjauhkan agama dari tugas dan hakikat profetik dan etisnya.

Ormas keagamaan sendiri tidak memiliki sumber daya dan pengalaman yang memungkinkan untuk menjalankan usaha-usaha pertambangan, sehingga kemungkinan besar, akan jatuh sekedar menjadi papan nama yang menjual lisensinya pada mereka yang lebih berpengalaman untuk itu.  Agama hanya akan menjadi tameng dari kegagalan, kerusakan alam, dan konflik sosial yang mungkin terjadi. Anggapan bahwa kehadiran agama akan membawa moralitas ke tengah praktik pertambangan ataupun kesejahteraan masyarakat hanyalah pengandaian yang sangat sulit untuk terwujud.

Pembatasan prioritas pada tambang batubara dan merupakan lahan bekas memunculkan pertanyaan tentang niat baik yang sesungguhnya dari pemerintah, melihat batubara adalah komoditas yang sangat tidak ramah lingkungan dan tergolong sunset commodity. Sebagai tambang yang pernah digarap perusahaan sebelumnya, ketersediaan cadangan batubara dan kualitas lingkungannya juga dipertanyakan. Sementara itu komoditas tambang dengan nilai ekonomis yang jauh lebih tinggi tidak menjadi bagian dari priorits yang diberikan dan masih dikuasai segelintir elit lama pemain sektor pertambangan.

  1. Dalam kacamata pandang EKOLOGI, model pertumbuhan ekonomi yang kita hidupi selama ini, dengan dukungan kuasa politik dan teknologi, telah mengarahkan kita pada bencana perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan. Tanda-tanda ini sangat jelas dan secara mendalam telah dikaji oleh begitu banyak ahli. Namun demikian upaya menghambat kerusakan lebih jauh terjadi nampak sangat sulit diwujudkan baik di tingkat diplomasi global, politik dan kebijakan domestik, kalangan dunia usaha, hingga gaya hidup seluruh warga dunia. Pencarian model ekonomi yang lestari telah banyak dilakukan namun masih belum menjadi gerakan yang meluas karena berbagai alasan, termasuk kurangnya niat baik dunia politik dan pelaku usaha konvensional.

 

  1. Secara POLITIS, aroma balas budi dan pilih kasih pada ormas tertentu oleh pemerintah nampak menonjol. Hal ini bukan hanya memicu kecemburuan dan konflik politik, melainkan juga melemahkan legitimasi negara, integritas kebijakan publik, bahkan mengancam iklim usaha dan kepastian hukum di sektor pertambangan. Sebagaimana diingatkan WALHI, perubahan peraturan pemerintah ini menunjukkan pembangkangan penguasa terhadap konstitusi dan perundang-undangan dan menunjukkan karakter rezim yang hanya mementingkan kekuasaan ketimbang keselamatan rakyat.[1]

Bahwa kebijakan ini telah mengancam kesatuan bangsa dengan memecah belah ormas agama dan non agama, internal kelompok agama antara kelompok pro dan kontra di dalamnya, juga membuka peluang konflik SARA di daerah pertambangan yang kebetulan masyarakat sekitarnya memiliki mayoritas agama yang berbeda dengan ormas agama yang bersangkutan.

Dua hal perlu digarisbawahi bahwa politik nasional harus menekankan ekonomi konstitusi, yang berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Negara harus diingatkan kembali bahwa di tengah-tengah ancaman kemerosotan moralitas politik dan praktik penyelenggaraan negara yang berintegritas, negara seharusnya menempatkan dan melibatkan agama sebagai mitra pembangunan politik yang fair, etis, dan berintegritas alih-alih mendorong agama terlibat ke dalam bisnis pertambangan yang debatable sifatnya. 

  1. Dalam aspek KEBIJAKAN PUBLIK, Formulasi kebijakan harus mempertimbangkan proses formulasi kebijakan yang sebisa mungkin melibatkan para pemangku kepentingan, serta isi kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi target group. Dalam analisis ISKA  DPD DIY terhadap proses, isi, dan dampak dari peraturan pemerintah ini menunjukkan betapa lemahnya kualitas kebijakan ini. Kebijakan ini terkesan dirumuskan sepihak dari atas, tanpa dialog yang memadai dengan pemangku kepentingan, kurangnya kajian yang mendalam, serta tanpa memperdulikan apakah kebijakan ini didukung atau tidak oleh publik.

Dalam substansi kebijakan, sekali lagi ada gap antara tawaran kebijakan pemerintah dengan apa yang sungguh-sungguh dibutuhkan ormas. Selain itu kebijakan prioritas perijinan ini sebenarnya justru melahirkan kerentanan berupa adanya eksklusivitas pada ormas tertentu yang memunculkan superioritas kelompok, adanya kesenjangan antara ormas yang mendapat manfaat dan yang tidak, problem akuntabilitas, serta alasan pembenaran pemberian prioritas.

Dalam aspek kewenangan negara, Pemberdayaan Ormas sebagaimana diatur dalam UU. No. 17 Tahun 2013 Pasal 40 sampai dengan Pasal 42 dan PP. No. 56 Tahun 2016 Pasal 21 sampai dengan Pasal 27 tidak mengatur ihwal pemberian izin usaha, tetapi lebih pada pemberdayaan dan peningkatan kualitas SDM dan manajemen organisasi. Rasionalisasi bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memberdayakan ormas, jelas ada terlalu jauh dari kewenangan perundangan yang diberikan pada pemerintah.

  1. Secara HUKUM, Hukum sebagai sistem harus konsisten dan padu baik horisontal maupun vertikal. Dalam hal ini peraturan pemerintah ini bermasalah. Hukum pertambangan juga terkait erat dengan hukum kehutanan, pertanahan, lingkungan, dan perpajakan. Hukum juga membentuk pola distribusi kewenangan dan manfaat dalam pemerintahan dan masyarakat. Mengingat peraturan pemerintah ini sangat bersifat top-down dengan aspek subyektivitas pemerintah yang kuat di dalamnya, patut diduga akan memunculkan ketidaksediaan pemerintah daerah dalam menindaklanjuti keluhan masyarakat karena tidak lagi menerbitkan perizinan berusaha bersangkutan, juga melemahkan  unsur pengawas karena pemerintah daerah merasa tidak memiliki kewenangan memberikan izin. Ini juga berpengaruh pada kualitas perlindungan lingkungan hidup di lapangan.

Prioritas perijinan yang mengabaikan dimensi kerentanan identitas primordial di dalamnya memunculkan potensi konflik antara ormas keagamaan pengelola tambang dengan masyarakat setempat, masyarakat adat dan LSM. Potensi konflik bernuansa SARA sangat mungkin terjadi ketika persoalan pertambangan yang bernaung di bawah identitas agama tertentu harus berhadapan degan warga atau pihak lokal yang berbeda agamanya.

  1. Di ranah EKONOMI, bahwa ekonomi konvensional telah memberikan cara-cara tak terbatas bagi akumulasi kapital tanpa harus memperdulikan kelestarian alam, daya dukung sistem, maupun etika kehidupan. Bahwa peraturan pemerintah ini sejatinya adalah dorongan kuat kepada agama-agama untuk mengadopsi model-model utilitarian semacam ini. Utilitarianisme ini harus diimbangi, dikritik, dan dibatasi oleh akal sehat, hati nurani, dan komitmen moral agar ekonomi mampu menunjang hidup bersama yang lebih lestari dan bermartabat. Masa depan kehidupan tergantung dari keberhasilan kita menerobos ekonomi konvensional dan mencari modil praktik ekonomi lestari

Model ekonominutilitarian telah menciptakan defisit neraca sumber daya alam dan sumber daya sosial hidup bersama. Pengambilan sumber daya alam maupun sosial berlangsung jauh lebih cepat dari upaya kita merawat, melestarikan, apalgi menumbuhkannya

Namun demikian tekanan ekologis telah melahirkan -meski dalam skala dan ruang lingkup yang masih sangat sempit- berbagai terobosan dalam  konservasi lingkungan. Model ekonomi sirkuler, pasar karbon, green budgeting, dan lain-lain adalah temuan baru yang diaharpkan mampu membuka jalan pada penciptaan ekonomi yang lestari.  Alih-alih berdebat dalam isu pertambangan, energi dan sumber daya kita dapat diarahkan pada kajian dan investasi di sektor ekonomi hijau.


Berangkat dari pertimbangan-pertimbangan di atas, ISKA DPD DIY merekomendasikan sebagai berikut :

Sebagian peserta yang hadir

  1. Kepada Pemerintah Republik Indonesia, ISKA DPD DIY mendesak agar pemerintah meninjau kembali kebijakan tersebut mengingat dampak buruk yang jauh lebih menonjol daripada kemanfaatan yang diperoleh publik. Pemerintah harus lebih memperhatikan kepentingan umum dan jangka panjang daripada memenuhi agenda kepentingan kekuasaan elit pemerintahan. Pemerintah harus terbuka mendengarkan kritik dan masukan dari semua pihak.
  2. Kepada seluruh masyarakat Indonesia dan gerakan masyarakat sipil, ISKA DPD DIY mengajak semua pihak agar bersama mengkritisi bersama kebijakan ini, serta dalam jangka menengah dan panjang terus menyuarakan suara kritisnya kepada pemerintah demi mengawal praktik kekuasaan yang sungguh-sungguh mengedepankan kepentingan rakyat daripada kepentingan kekuasaan sesaat sebagaimana tercermin dalam kebijakan ini.
  3. Kepada segenap warga Gereja dan komunitas agama-agama lain, ISKA DPD DIY mendorong agar memprioritaskan upaya membangun sumber dayanya dengan berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang lestari. Alih-alih berinvestasi di sektor yang tak ramah lingkungan, agama justru bisa menjalankan peran profetiknya dengan mengarahkan dayanya pada pengembangan model bisnis hijau yang akan semakin tumbuh di masa depan.
  4. Kepada segenap anggota ISKA DPD DIY dan ormas katolik lainnya, agar kembali ke semangat dasar dan akar spiritualitasnya, yakni nilai-nilai Katolik yang sejati. Agar ormas Katolik kembali mampu menjelmakan dirinya sebagai gerakan kader dan bukan gerakan politik kekuasaan, agar gerak langkah ormas Katolik dijalankan dengan semangat Katolik untuk mewujudkan tata hidup bersama yang bernafaskan iman Katolik, serta agar ormas Katolik menjadi pewarta iman Katolik yang sejati. Secara khusus bagi ISKA, agar ISKA mampu menjadi kolam pemikiran yang cerdas, bernas, dan berdaya transformatif berlandas nilai-nilai Katolik sejati bagi seluruh bangsa Indonesia.

 

Yogyakarta, 17 Juni 2024



[1] WALHI Kritik Izin Pertambangan Untuk Ormas Keagamaan, https://jaringnusa.id/walhi-kritik-izin-pertambangan-untuk-ormas-keagamaan/, 11 Juni 2024


Posting Komentar untuk "Gereja Perlu Serius Perjuangkan Dibatalkannya Kebijakan ini."