Wayang, Babad Kehidupan

Selamat pagi Nusantara, salam bahagia sejahtera

Wayang menjadi perbincangan hangat di media sosial, setelah ada viral seseorang yang mengharamkan dan menganjurkan memusnahkan wayang. Peristiwa itu menambah bentuk-bentuk intoleransi terhadap kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Nusantara. Catat saja peristiwa-peristiwa ini: memaksakan tarian/penari untuk memakai pakaian dengan dasar persepsinya, pada hal tarian tersebut sudah ada dan berkembang serta masuk di hati masyarakat. Membubarkan ritual sedekah laut, karena tidak sesuai dengan ajaran yang mereka yakini. Demo perempuan anti kebaya, dilakukan di puusat kebudayaan dimana kebaya menjadi pakaian resmi kerajaan dan sudah mandarah daging di masyarakat. Kebaya juga menjadi pakaian resmi nasional bagi perempuan. Membuang sesaji yang dipergunakan untuk sarana masyarakat mencari keselamatan. Merusak candi dan makam-makam  di Yogya, Pakem, Solo, Magelang.  

Tulisan ini tidak mengajak orang untuk membalas, membenci atau menyerang, bukan. Namun mengajak semua yang mencintai kebudayaan nasional untuk menanggapi peristiwa-peristiwa tersebut dengan hati (leluhur kita dulu mengatakan dengan “penggalih”). Para pendeta, raja dan pembesar-pembesar kerajaan selalu menasehati bahwa segala perkara “dipenggalih” dengan baik. Kemudian mengajak semua duduk bersila semadi dengan istilah “maneges”.

Saya akan mengambil contoh “manages” ini dari cerita wayang “Semar mbangun Kahyangan”. Waktu itu Semar menginginkan kehadiran Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa), bersama dengan pusaka-pusakanya Jamus Kelima Sada, Songsong Tunggul  Naga dan Robyong Mustikawarih. Ada pergulatan disana. Pandawa ingin memenuhi permintaan Semar, namun Kresna tidak memperbolehkan, karena ia ingin juga meminjam pusaka Jamus Kelima Sada.

Dalam kebingungan tersebut Sadewa mengajak kakak-kakaknya untuk bersemadi dan “manages”. Maneges dalam falsafah pewayaangan (maaf, dan orang Jawa) berarti mencari kehendak Tuhan dalam peristiwa tertentu dan memohon petunjuk-Nya. Saat itu Sadewa berkata: “Kakak-kakakku mari kita samadi mohon petunjuk kepada Sang Hyang Widi. Jika nanti pusaka-pusaka itu pergi meninggalkan Gedung Pusaka, maka kita harus mengikutinya. Itu kebenaran yang ditunukkan oleh Sang Hyang Widi, dan kita akan mengikutinya”

“Maneges” itu yang selalu dipergunakan oleh para leluhur kita dalam menapaki kehidupan-kehidupan menuju kesempurnaan hidup. Maneges adalah liturgi, bagaimana seorang titah yang mendapat tugas dari yang mencipta, berdialog tentang apa yang harus dilakukan dalam perutusannya di dunia. Bagaimana orang dapat manages, cara, sikap dan sarana yang dipergunakan, secara lengkap disajikan dalam pertunjukkan wayang.

Jadi wayang itu bukan seni semata, namun disana ada mengandung nilai-nilai keutamaan hidup, kejujuran, keadilan, ketaatan, kesetiaan, keluhuran budi pekerti, kesabaran, keikhlasan, kesabaran. Maka dalam wayang itu digambarkan masing-masing dengan bentuk, tatahan dan warna yang menggambarkan karakter manusia. Nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat wayang tersebut ternyata juga ada dalam ajaran agama. Ada disebutkan dalam salah satu ajaran agama itu buah-buah Roh Kudus yaitu: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesdetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Kesemuanya tidak ada yang bertentangan dengan ajaran kehidupan dalam wayang.

Kembali pada wayang. Kita manages bersama. Jika kita memperlajari wayang purwa dari sejarahnya dan perkembangannya, wayang adalah Babad Kehidupan. Ada theologinya disana. Kalau kita melihat dan membaca filosofi Gunungan dan kisah kehidupan Dewa-dewa. Ada Sang Hyang Wenang. Iya pitera dari Sang Hyang Nurasa (Nur-Cahaya – Rasa – Rasa).Kita tidak bisa membayangkan bentuk dan wajah Cahaya dari sebuah Rasa. Sang Hyang Wenang lahir berwujud Sotan (suara yang samat-samar). Adk kembarnya bernama Sang Hyang Wening. Penamaan figure wayang ada filosofinya masimg-masing yang menggambarkan karakternya. Ada ajaran tentang cinta yang tidak semua orang bisa mengamalkan dengan baik yang disebut Sastrajendra Hayuningrat.

Jika manusia bisa memahami dan menghayati ajaran cinta seperti yang diajarkan dalam wayang “Sastrajendra Hayuningrat” damailah kehidupan kita ini. Itulah ajaran, wewarah dari leluhur kita. Maka tidak elok kalau kita justru memusnahkan wayang, warisan budaya, ajaran adi luhung yang diwariskan oleh leluhur kita. Apalagi wayang sudah menjadi warisan milik dunia. Sejak 7 November 2003 oleh UNESCO disahkan sebagai Karya Kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah serta sangat berharga. UNESCO menyebutkan “Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Bersama kita pepetri wayang  

Posting Komentar untuk "Wayang, Babad Kehidupan "