Agama, sebagai identitas atau spiritualitas

Selamat pagi, salam bahagia sejahtera

Beginilah jadinya jika agama hanya dipakai sebagai  identitas dan bukan sebagai spiritualitas. Hidup manusia, masyarakat dan lingkungannya, singkatnya ya dunia “ambyar”. Mari kita tengok ke belakang. Berapa banyak kalimat bijak keluar dari para bijak cendekia?  Berapa kalimat bernada kasih bertebaran di mimbar-mimbar tempat ibadat. Berapa banyak nada irama syukur terlantun dari para biduan, yang diiringi  musik anggun dan megah? Berapa banyak kata-kata mutiara keluar dari mulut-mulut manis. Berapa banyak kita mendengar seruan dan membaca perintah ini: 1) Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepada-Ku saja, dan cintailah Aku lebih dari segala Sesuatu; 2) Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat; 3) Kuduskanlah hari Tuhan; 4) Hormatilah Ibu-Bapakmu; 5) Jangan membunuh; 6) Jangan berzinah; 7) Jangan mencuri; 8) Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu; 9) Jangan mengingini istri sesamamu; 10) Jangan mengingini milik sesamu secara tidak adil.

Kiranya semua itu tidak ada yang luput dari pandangan dan pendengaran, namun mungkin luput dari perhatian kita. Kata bijak, kata mutiara, nasehat dan puisi cinta hanya sebatas sebuah bacaan dan suara rutinitas, seperti hembusan nafas yang setiap detik dilakukan, namun tidak ditangkap maknanya. Karena yang rutin dilakukan dan gerakan yang sudah otomatis menjadikan lupa memaknai. Makan dan minum, karena dilakukan rutin hanya dimaknai sebagai penawar lapar dan haus. Lupa bahwa makna minum dan makan adalah untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup. Demikian pula, nafas yang kita lakukan, juga sebuah rutinitas dan otomatis, sehingga lupa memaknai bahwa nafas adalah kehidupan.

Peristiwa-peristiwa tragis yang baru saja kita temui dan tindakan-tindakan diluar batas kemanusiaan, disebabkan pada kealpaan atau kemandegan memaknai  tegukan air, suapan makanan dan tarikan nafas serta daya cipta-rasa-karsa. Karena sudah rutin dan biasa, orang tidak lagi mempertimbangkan pemaknaan setiap gerak langkahnya. Seorang sutradara, selalu mengatur gerak langkah, tata suara setiap figure pendukungnya, sehingga ada makna dari sebuah drama/film yang dibuat. Alangkah baik jika kita hidup juga menjadi sutradara dari kehidupan sendiri. Sehingga selalu ada makna dari setiap gagasan, ucapan dan tindakan yang dilakukan.

Setiap orang secara rutin bisa membaca dan mendengar 10 Perintah Allah, 
namun tidak setiap orang bisa memaknai

Beragama bukan sekedar menjalankan rutinitas peribadatan atau amalan perbuatan, namun pemaknaan sebuah peribadatan dan amalan. Memaknai setiap pemikiran, perkataan dan perbuatan itulah spiritualitas. (pakndung)


  

Posting Komentar untuk "Agama, sebagai identitas atau spiritualitas"