Caleg Mengandalkan Kekuatan Uang

Menyanyikan lagu Indonesia Raya pada pembukaan FGD ISKA, Kamis 18 Mei 2023
di SMA Kolese De Britto

YOGYAKARTA – Masalah money politics, politik identitas dan black campaign masih mewarnai proses Pemilu 2024. Meskipun sudah ada aturan bahwa money politics dikategorikan sebagai pelanggaran luar biasa dan pelakunya akan mendapat hukuman dan denda, namun prakteknya masih dipertanyakan. Demikian inti pembahasan dalam Focus Discussion Group (FGD) di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta, Kamis, 18 Mei 2024. Acara ini diadakan dalam kaitan HUT ke-65 Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), dengan topik “Pemilu, Pesta Demokrasi Dalam Etika dan Kebangsaan”. FGD digelar secara hybrid dan diikuti oleh perwakilan anggota ISKA se-regio Jawa.

Antonius Budisusila dari Universitas Sanata Dharma (USD), mengungkapkan ada artis-artis yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) hanya untuk mendulang suara. “Kalau seperti ini, akibatnya nanti kita akan berhadapan dengan birokrasi yang tidak inovatif,” ia mengingatkan. Tony mengutip Tempo.co bahwa 262 pebisnis menjabat sebagai anggota DPR dan banyaknya caleg artis menjadi jalan instan bagi partai politik. Akibatnya antara lain, artikulasi regulasi kebijakan publik terancam, dan birokrasi akan lebih berkuasa daripada institusi demokrasi. Menurutnya, kapital ekonomi sangat mudah meruntuhkan kekuatan ekonomi; maka seharusnya lebih mengedepankan kapital budaya dan kapital sosial. “Kalau sekarang trend artis-artis nyaleg, mestinya pemilu ke depan trend dosen. Pemilu melibatkan dosen, kaum intelektual. Uangnya darimana? Ya parpol yang carikan, jadi ada subsidi silang, dan parpol ada gunanya,” tegasnya.

Ia juga setuju apabila pada saat kampanye pemilu, setiap pengambilan uang kartal dibatasi. Masalahnya, yang mengatur DPR. “Nanti dewan pasti ngamuk-ngamuk,” ujar Tony. Ia pun mengingatkan tentang pentingnya kebebasan pers. “Tapi yang terjadi sekarang, kampus sedang dikebiri dalam kebebasan akademik”.

Takut Tak Dipilih

Sementara itu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah, Muslim Aisha, menjelaskan bahwa masalah money politics dan politik identitas secara teknis di luar jangkauan KPU. Bahkan, money politics seolah-olah menjadi bagian budaya, dan dari sudut disiplin ilmu dan hukum sulit dijangkau. Apakah problem politik uang ini ada pada yang dipilih atau pada yang memilih? Menurut Muslim, keduanya punya problem. Ia pernah bertanya kepada beberapa caleg dan parpol, yang dijawab bahwa caleg takut tidak dipilih maka memakai kekuatan uang. Di pihak lain, masyarakat menggunakan kesempatan (mumpung) pemilu untuk memperoleh uang. Toh, masyarakat tak pernah dilibatkan dalam diskusi atau pengambilan kebijakan. Dengan kata lain, kalau tidak ada pemilu masyarakat tidak diperlukan. “Ada yang kalau enggak dikasih (uang-red) enggak akan memilih, bahkan dengan orang yang sudah dikenal dekat sekalipun,” tambahnya.

Muslim juga mengungkapkan, pernah ada kasus hukum dalam pilkada. Tapi ada situasi tertentu yang akhirnya membuat putusan pengadilan tidak menjatuhkan sanksi kepada yang menerima (uang-red). Sanksi dijatuhkan kepada yang memberi. Hanya saja, yang memberi uang itu bukan kandidat, padahal kalau kandidatnya bisa didiskualifikasi. Muslim Aisha menyebutkan pula bahwa Pemilu 2024 sama dengan Pemilu 2019, dan Pemilu 2024 menjadi satu-satunya pemilu yang secara ketentuan tidak berubah. Ini catatan sejarah, karena biasanya ketentuan berubah.pada setiap pemilu. Pemilu pada 14 Februari 2024 akan disusul Pilkada 27 November. Ini juga satu-satunya dalam sejarah, dimana perhelatan pemilu dan pilkada dilakukan dalam satu tahun.

Para peserta FGD dalam rangka HUT ke-65 Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) sedang mendengarkan paparan para pembicara, di SMA De Britto, Yogyakarta, Kamis, 18 Mei 2023.

Peran Gereja dalam Politik

Romo Endra Wijayanto, Pr, imam diosesan Keuskupan Agung Semarang (KAS), berpendapat bahwa peranan gereja dalam politik demokrasi belum terasa. Hirarki dalam gereja memang tidak boleh cawe-cawe dalam politik praktis, sedangkan ormas Katolik dan awam sangat didorong untuk terlibat. “Tapi aktivis dan anggota DPR kita tidak menyuarakan kekatolikan di dalam gereja ataupun di luar gereja,” lanjutnya. Ia mengutip kajian Asosiasi Teologi Indonesia tentang gereja Katolik yang kehilangan sikap kritis dan profetisnya terhadap kehidupan sosial demokrasi. Ini karena sebagian besar umat berpandangan politik itu kotor, licik, penuh intrik dan persaingan. Fungsi diakonia gereja Katolik juga kurang, sehingga warga gereja kurang peduli terhadap isu politik.

Selain itu, pendidikan umat beriman termasuk para pembina iman (calon katekis, imam, religius) kurang memberi tempat pada dimensi sosial politik. Gereja juga kurang mampu mengkomunikasikan pandangan dan sikap sosial politiknya kepada masyarakat, sehingga pandangan gereja tidak dimengerti oleh umat Katolik dan masyarakat luas. “Tugas anda adalah menyucikan dunia, menciptakan kedamaian dan kerukunan, tidak korupsi dan tidak menyimpang dari nilai-nilai Katolik,” pesannya. Romo Endra juga mengingatkan ISKA agar ikut memikirkan upaya pengentasan krisis ekonomi, penyalahgunaan wewenang dll.

Sebagai orang Kristiani, tugas menyucikan dunia didasari oleh teladan Yesus. Berpolitik dengan menciptakan kerukunan, kedamaian dan persatuan; tidak membalas kejahatan dengan kejahatan; serta membebaskan diri dari krisis sosial, ekonomi (kemiskinan dan pengangguran) dan politik (korupsi, penyalahgunaan kuasa dan wewenang). Romo Endra menyebutkan, Frans Seda dan Kasimo menjadi contoh tokoh Katolik yang melakukan tindakan politik dengan dasar dan teladan Yesus. Mereka menjalankan kehidupan politik secara sederhana, berpihak pada rakyat kecil dan selalu mengutamakan kepentingan bersama.

Sementara itu pembicara lain, FX Adjie Samekto, Dosen Hukum Internasional dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, mengungkapkan sejauh ini Pancasila hanya dipahami sebagai penuntun perilaku. Padahal, Pancasila lebih dari itu, ketika digulirkan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Sayangnya, Pancasila belum dibahas dalam ruang-ruang agama, dan masih banyak regulasi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD ‘45.

Ketua Umum DPD ISKA DIY, Julius Hernondo, menjelaskan pada HUT ke-65 ini ISKA mencoba untuk tetap eksis sebagai cendekiawan dan merembes kemana-mana dalam setiap karya. FGD yang diadakan secara nasional ini sebagai sumbangsih kepada Indonesia terkait penyelenggaraan pemilu. Diharapkan pemilu 2024 semakin berkualitas dan berdampak pada kesejahteraan rakyat. (Wahyu Dramastuti)

Posting Komentar untuk "Caleg Mengandalkan Kekuatan Uang"