Beginilah doa yang diharapkan


Suatu keberuntungan bahwa saya berkesempatan mengikuti launching buku dan seminar pengajuan Rama Mangunwajaya sebagai pahlawan nasional. Pertemuan yang menurut saya segalanya berkualitas. Ruangnya berkualitas, Auditorium Kampus St.Bonaventura  Atmajaya Yogyakarta. Kemudian peserta yang hadir dari mahasiswa, budayawan, intelektual, akademisi, pejabat pemerintah, laki-laki dan perempuan. Dari sukunya, dari sisi agama, ada Islam, Katolik, Hindu, Budha, Kristen dan lainnya. Perguruan Tinggi yang hadir dari UII, UIN, UNY, UGM, YKPN, Sadhar dan Atmajaya, maka semuanya berkualitas

Penyelenggaraannya sangat cair dan akrab, mungkin karena pembawa acara (MC) yang menjadikan suasana seminar menjadi cair.  Demikian pula para narasumber memberikan materi bahasannya dengan segar. Seminar itu juga mempertemukan teman-teman lama dan bisa jadi “pangling”, mengamati dulu, iya bukan ya, rambutnya sudah memutih semua (kebetulan kok banyak yang tidak disemir).

Kekurangan waktu? Itu biasa terjadi dimana-mana, jadi kalau ada audiens yang ingin bertanya atau menanggapi sudah kehabisan waktu, itu lumrah terjadi. Karena joke-joke atau selingan dari MC, Moderator atau bahkan narasumber sendiri tidak bisa dielakkan. Ya...apa-apa kalau tidak ada bumbunya pastinya hambar, demikian pula pada seminar dan lainnya tanpa joke atau plesetan rasanya sayur tanpa garam.

Tetapi ada yang lebih menarik, ketika pembawa acara mau menutup acara dengan doa. Doa penutup sekaligus doa makan siang. Pembawa acara itu memilih dari salah satu narasumber dan itu Prof.Dr.Phil. Al Makin, S.Ag., M.Ag yang pernah menjabat Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Spontan „Wah...saya bisa kuwalat“ katanya. Karena disitu ada pastor G. Budi Subanar, SJ dan pastor Kol.Yos.Bintoro, Pr yang menjadi Wakil Uskup TNI.

Langsung saja dia naik mimbar dan mulai berdoa „Atas nama Tuhan yang Maha Pengasih dan penyayang,...dst“. Sampai habis doa yang diamini semua hadirin, semua memakai bahasa Indonesia. Seumur-umur nyaris  saya tidak mendengar doa yang murni dengan bahasa Indonesia dan tidak dikatakan “maaf saya akan memimpin doa secara…kepada yang berkeyakinan lain dimohon mendukung dengan bijaksana.

Inilah doa yang diharapkan dalam acara-acara yang pluralis atau acara-acara ceremonial kenegaraan yang dihadiri oleh lapisan masyarakat beragama. Bukankah agama-agama di negeri ini sama kedudukannya, tidak ada agama negara di negara Pancasila. Juga tidak terjadi joke yang mengatakan “memang ada agama lain?”. Karena pembawa doa sebelum membacakan doanya  mengatakan bagi yang beragama lain silakan mengikuti dengan keyakinan atau kebijaksanaan masing-masing.

Memang berdoa di negeri ini masih menjadi permasalahan tersendiri. Orang mempersoalkan doa orang lain, meskipun tidak mengganggu. Orang menyoal liturgi agama lain meskipun liturgi tidak  mengganggu. Kalau doa bersama dilakukan bergantian dengan caranya masing-masing, tidak maju bersama-sama kemudian didaraskan doa dengan satu Bahasa yang juga menjadi Bahasa pemersatu, Bahasa Indonesia. Ingat ya lagu “Satu Nusa, satu bangsa, satu Bahasa kita..” Kiranya diperlukan keberanian untuk  memimpin doa seperti yang dilakukan Prof. Dr. Phil. Al Makin, S.Ag.,M.Ag  tadi, kecuali itu juga keyakinan bahwa yang dilakukan benar. 

1 komentar untuk "Beginilah doa yang diharapkan"

  1. Tulisan yang menarik Pak Gandung. Saat seminar saya lihat asyik memotret, ternyata diam-diam menuliskan kisah yang indah ini.

    BalasHapus