Dari kiri, Robertus Reno Sitepu, SS.,M.Fil (Moderator), Dra.L.Indah Murwani Yulianti, M.Si (Pembahas 2), Dr.B.Wibowo Suliantoro, M.Hum (Pembahas 2) dan C.Lilik Krismantoto (Narasumber) |
Yogyakarta, 16 Oktober 2025. Universitas Atmajaya Yogyakarta bersama Sekretariat Bersama Ormas Katolik Daerah Istimewa Yogyakarta (Wanita Katolik RI, Pemuda Katolik, PMKRI, ISKA dan Vox Point) menyelenggarakan sarasehan dalam rangka 10 tahun Ensiklik Laudato Si, dengan tema ”Analisis Situasi Krisis Ekologi di Keuskupan Agung Semarang”. Sarasehan menghadirkan narasumber C.Lilik Krismantoro (Penggiat Laudato Si Indonesia), pembahas Dra.L.Indah Murwani Yulianti, M.Si (dosen Atmajaya Yogyakarta), Dr.B.Wibowo Suliantoro, M.Hum (Koordinator MPK Atmajaya Yogyakarta), dan Moderator Robertus Reno Sitepu, SS.,M.Fil. (dosen Atmajaya Yogyakarta).
Yulius Hernondo, Ketua ISKA DPD DIY yang mewakili Sekber Ormas Katolik DIY
mengatakan dalam sambutannya, bahwa tanggl 24 Mei 2025 merupakan ulang tahun
ke-10 Ensiklik Laudato Si. Dalam Ensiklik ini Paus Fransiskus menyerukan
seluruh umat manusia untuk merawat bumi sebagai rumah bersama, yang memadukan
ekologi, keadilan sosial dan spiritualitas. Selama 10 tahun ini Ensiklik
Laudato Si masih relevan dan semakin relevan untuk mengecam degradasi
lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati, polusi dan perubahan iklim, serta
krisis sosial yang mengancam. Kita refleksikan bersama perjalanan 10 tahun ini,
untuk melangkah lebih dalam lagi, untuk merawat bumi seisinya.
Sementara Lilik Krismantoro dalam paparannya yang diberi judul ”Mendengarkan
Jeritan Bumi” mengatakan bahwa tingkat kerusakan bumi sudah sangat mengkawatirkan.
Perubahan iklim, integritas bosfer, pelepasan bahan kimian sintetis dan
modifikasi genetik, penipisan oon stratosfer, pemuatan aerosol Atmosfer, keasaman
air laut, polusi aliran sungai, perubahan air tawar, peubahan lahan, sudah
mencapai batas-batas kelayakan bahkan kelewat batas dan mengkawatirkan. Mengapa sampai sedemikian rusak bumi ini? Karena
paradigma antroposentris yang berlebihan, mentalitas pertumbuhan ekonomi yang tidak
terbatas, budaya konsumerisme, ketidakpedulian dan kurangnya kesadaran dan
kepentingan jangka pendek.
Untuk wilayah Keuskupan Agung Semarang kerusakan-kerusakan itu dapat
dipetakan menurut wilayah dan jenis kerusakan. Misalnya pantai utara ada abrasi pantai, penurunan tanah, di
kota-kota ada polusi udara, pencemaran air, sampah, limbah-limbah industri dan
rumah sakit. Tingkat pencemaran sudah sangat tinggi utamanya dari mikro
plastik. Bahkan mikro plastik sudah ditemukan masuk dalam plasenta. Ini akan membahayakan kehidupan janin. Dengan
pemetaan ini, diharapkan nanti gerakan Laudato Si di paroki-paroki bisa
mempertimbangkan prioritas mana yang bisa ditangani.
Sebagai pembahas pertama B.Wibowo Suliantoro mengatakan bahwa, dalam krisis
air, perempuanlah yang paling terdampak. Kekurangan air bagi perempuan bisa
berakibat macam-macam. Saat menstruasi, menyusui, hamis dan melahirkan ibu
sungguh memerlukan air. Sebagai gambaran perempuan yang menstruasi memerlukan tambahan
air 300 – 500 ml / hari. Saat menyusui ibu membutuhkan tambahan air 700-1000
ml/hari, dan saat hamil dan melahirkan membutuhkan tambahan air 300-500
ml/hari. Tetapi pemetaan atas situasi
krisis dan skenario kerusakan lingkungan hidup di Keuskupan Agung Semarang
sangat menarik dan perlu diapresiasi. Melalui pemetaan ini diperoleh gambaran
umum dan kita bisa menentukan kemana arah penyelamatan bumi ini. Dalam
perspektif Ekofeminisme, memandang bahwa alam sebagai ciptaan hidup yang
sakral, bukan sekedar komoditi ekonomi.
Duduk di kursi dari kiri, Dr.B.Wibowo Suliantoro, M.Hum, Rama Dr.Mateus Mali, CSsR (Moderator ISKA DPD DIY, Dra.L.Indah Murwani Yulianti, M.Si dan C.Lilik Krismantoro.
Sedang L.Indah Murwani Yulianti, sebagai pembahas kedua mengajak kita untuk
aksi nyata merawat bumi sebagai rumah bersama. Dengan adanya abrasi di Demak,
mikroplastik di Sungai Progo dan Bengawan Solo, krisis air di karst Gunung
Kidul dan Kulon Progo, dan TPA Piyungan Bantul, Indah mengajak untuk pertobatan
ekologis, yaitu menyadari kesalahan, bertobat dan hidup dalam kesederhanaan. Pertama
yang harus dilakukan adalah gaya hidup ramah lingkungan, dengan mengurangi
plastik sekali pakai, pemilahan sampah, hemat air dan listrik serta menanam
pohon. Kedua, pendidikan dan aksi ekologis, yaitu pengolahan sampah, dan
program bebas plastik. Aksi nyata yang sudah dilakukan oleh Universitas
Atmajaya antara lain: penanaman 10.000 mangrove dengan Martha Tilar, penanaman
mangga, nangka dan sawo di lahan milik Atmajaya di Kulon Progo dan Kalikepek.
10 galon ekoenzim untuk acara gathering PMI. Ada pelatihan pemilahan sampah dan
pengolahannya.
Ada peluang dan harapan untuk gerakan Laodato Si di Ormas-ormas, Paroki-paroki
dan kelompok peduli lainnya, misalnya ada taman-taman doa yang sekaligus untuk
penghijauan dan disana pasti akan ada
hewan-hewan yang hidup, seperti burung, kupu-kupu dan binatang lainnya. Di
penanaman mangrove Kulon Progo, sudah muncul buaya, ini kan menjadi menarik. Swr.01
Posting Komentar untuk "KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DI KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG"