Aku Muda, Maka Aku Bersuara: Kritik Terhadap Regulasi Pendidikan di Indonesia

             

Oleh: Andreas Chandra

Sebagai generasi muda, kita sering kali merasa suara kita terpinggirkan dalam diskusi besar tentang masa depan bangsa. Namun, seperti yang dikatakan oleh slogan "Aku Muda, Maka Aku Bersuara", kita memiliki hak dan tanggung jawab untuk mengkritik sistem yang membentuk hidup kita. Salah satu aspek krusial yang layak dikritik adalah regulasi pendidikan di Indonesia saat ini. Regulasi ini, yang seharusnya menjadi fondasi untuk membangun generasi yang cerdas dan inovatif, justru sering kali menjadi penghalang bagi kemajuan. didalam tulisan ini, saya akan memberikan  kritik-kritik utama terhadap regulasi pendidikan, dengan fokus pada aspek-aspek seperti kurikulum, aksesibilitas, dan pengaruh politik.

Pertama, mari kita bicarakan tentang kurikulum pendidikan yang diatur oleh regulasi pemerintah. Kurikulum 2013, yang diperkenalkan sebagai upaya modernisasi, sebenarnya telah menjadi sumber kontroversi. Regulasi ini menekankan pada pembelajaran berbasis kompetensi dan literasi, namun implementasinya sering kali kaku dan terlalu berorientasi pada ujian nasional. Siswa-siswa kita dipaksa untuk menghafal fakta-fakta yang mungkin tidak relevan dengan kehidupan nyata, sementara kreativitas dan pemikiran kritis terpinggirkan. Misalnya, mata pelajaran seperti matematika dan bahasa Indonesia sering kali diajarkan secara mekanis, stanpa ruang untuk eksplorasi. Akibatnya, generasi muda seperti saya merasa terjebak dalam sistem yang memproduksi "robot" pendidikan, bukan inovator. Data dari UNESCO menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam indeks pendidikan global, dengan skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang stagnan. Regulasi ini, yang seharusnya fleksibel, justru menjadi belenggu yang menghambat perkembangan potensi individu.

 

Kedua, isu aksesibilitas pendidikan merupakan kritik besar lainnya. Meskipun Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 menjamin pendidikan gratis untuk jenjang dasar, kenyataannya tidak semua anak Indonesia bisa menikmatinya. Regulasi tentang sekolah negeri dan swasta sering kali menciptakan kesenjangan. Di daerah pedesaan atau terpencil, infrastruktur sekolah buruk, guru yang kurang kompeten, dan biaya tersembunyi seperti seragam atau buku membuat pendidikan menjadi mimpi yang sulit diwujudkan. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekitar 2,5 juta anak usia sekolah tidak bersekolah pada tahun 2022. Regulasi yang ada gagal mengatasi disparitas regional; misalnya, program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sering kali tidak merata distribusinya. Ini bukan hanya masalah regulasi, tapi juga implementasi yang lemah, yang memperburuk ketimpangan sosial. Sebagai generasi muda, kita melihat teman-teman kita yang terpaksa putus sekolah karena ekonomi keluarga, sementara regulasi seolah-olah mengabaikan realitas ini.

 

Ketiga, pengaruh politik terhadap regulasi pendidikan tidak bisa diabaikan. Pendidikan di Indonesia sering kali dijadikan alat politik, di mana kurikulum dan kebijakan diubah sesuai dengan kepentingan penguasa. Contohnya, revisi kurikulum yang sering terjadi—dari KTSP ke Kurikulum 2013, lalu ke Merdeka Belajar—bukanlah respons terhadap kebutuhan siswa, melainkan reaksi terhadap tekanan politik. Program Merdeka Belajar yang diluncurkan pada 2020, meskipun bertujuan baik untuk mengurangi beban ujian, sering kali dikritik karena implementasinya yang tergesa-gesa dan kurangnya evaluasi. Regulasi seperti ini menciptakan ketidakstabilan, di mana guru dan siswa harus beradaptasi terus-menerus tanpa dukungan memadai. Lebih buruk lagi, pendidikan tinggi seperti perguruan tinggi negeri sering kali dipengaruhi oleh regulasi yang membatasi kebebasan akademik, seperti larangan diskusi tentang isu-isu sensitif. Ini menimbulkan budaya takut dan sensor, yang bertentangan dengan semangat pendidikan sebagai pilar demokrasi.

 

Selain itu, regulasi tentang tenaga pendidik juga patut dikritik. Guru-guru di Indonesia diatur oleh sertifikasi dan pengembangan profesi yang ketat, namun gaji dan fasilitas mereka sering kali tidak memadai. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa gaji guru di Indonesia berada di bawah rata-rata negara berkembang lainnya. Regulasi yang mengharuskan sertifikasi PPNS (Pendidikan Profesi Guru) justru membebani guru dengan biaya tambahan, tanpa jaminan peningkatan kualitas. Akibatnya, banyak guru yang burnout atau mencari pekerjaan sampingan, yang berdampak pada kualitas pengajaran. Sebagai generasi muda, kita merasa frustrasi karena pendidikan kita bergantung pada sistem yang tidak menghargai para pendidik ini.

 

Namun, kritik ini bukanlah untuk menyerah. Sebagai generasi muda, kita bisa bersuara melalui gerakan sosial, seperti kampanye di media sosial atau partisipasi dalam pemilihan umum. Regulasi pendidikan perlu direformasi agar lebih inklusif, inovatif, dan bebas dari intervensi politik. Misalnya, adopsi model pendidikan Finlandia yang menekankan kreativitas dan kesejahteraan siswa bisa menjadi inspirasi. Kita juga perlu mendorong transparansi dalam anggaran pendidikan, yang saat ini hanya sekitar 20% dari APBN, jauh di bawah standar UNESCO sebesar 26%.

 

Dalam kesimpulan, regulasi pendidikan di Indonesia saat ini penuh dengan kekurangan yang menghambat potensi generasi muda. Dari kurikulum yang kaku hingga aksesibilitas yang tidak merata, dan pengaruh politik yang dominan, sistem ini perlu perubahan radikal. Aku muda, maka aku bersuara, mari kita tuntut pendidikan yang benar-benar membangun masa depan, bukan yang membelenggu. Dengan kritik ini, semoga kita bisa mendorong dialog yang konstruktif dan akhirnya, perubahan yang nyata.

 

Posting Komentar untuk "Aku Muda, Maka Aku Bersuara: Kritik Terhadap Regulasi Pendidikan di Indonesia"