PIR-OMK Lingkungan Santo Gregorius Agung Paroki Keluarga Kudus Banteng, Yogyakarta, menyelenggarakan malam keakraban, Sabtu-Minggu, 5-6 Juli 2025, di Wisma PU, Kaliurang. Dalam acara ini berlangsung regenerasi: anak-anak PIA yang masuk SMP naik jenjang menjadi PIR, anak-anak PIR yang masuk jenjang pendidikan SMA sekarang bergabung sebagai OMK bersama kakak-kakak yang sudah kuliah. Dengan persiapan amat mepet, acara ini membuktikan gen z tak boleh diremehkan.
Ini sungguh kegembiraan bagi kami. Anak-anak itu begitu antusias berdinamika bersama. Kurang dari dua minggu sejak tercetusnya ide, mereka bisa menyelenggarakan malam keakraban. Menginap, bermain bersama, masak-masak di depan api unggun, dan membentuk kepengurusan baru. Atas usaha dan kerja keras mereka. Kami tak meragukan anak-anak kami. Jika mereka belum bergerak, mungkin karena belum tahu bagaimana memulainya. Namun, begitu bergerak, mereka tahu bagaimana menyelesaikannya.
Kurang dari dua minggu lalu, pengurus PIR
dan OMK Lingkungan Santo Gregorius Agung Paroki Keluarga Kudus Banteng bertemu.
Sejak kami memiliki ketua lingkungan baru Dominicus Yusan T Putra, Juni lalu,
kami langsung merangsek untuk melanjutkan program kepengurusan lama dan memulai
program baru. Dalam konteks FIBB (formasi iman berjenjang dan berkelanjutan)
yang menjadi semangat pastoral Keuskupan Agung Semarang, kami langsung sampai
pada pertanyaan, “Apa yang mau kita buat untuk mengumpulkan remaja kita?”
Untuk menjawab pertanyaan itu, kami bertanya pada anak-anak. Sahut mereka, “Malam keakraban!” Kapan? “Minggu depan!” Weits, mendadak sekali. Bukan program yang direncanakan. Dananya dari mana?
Segera kami tepis pertanyaan itu. Bagi
kami, antusiasme mereka mesti disambut dengan antusias pula. Bukankah respons
ini yang diam-diam kami rindukan? Lagi pula, waktu mereka begitu terbatas.
Lebih terbatas dari kami yang bekerja. Mereka, anak-anak ini, meski sedang
libur sekolah, banyak sekali kegiatannya. Ada yang persiapan krisma, ada yang
ikut dalam lomba paduan suara Pesparani, ada yang ikut kompetisi olahraga, pun
ada yang berlibur bersama keluarga. Padat pokoknya.
Maka, begitu mereka sebutkan tanggal, kami
para pendamping PIR-OMK segera pasang sangkur siaga. Pepet anak-anak
habis-habisan, “Apa yang akan kita lakukan supaya biaya perjalanan, menginap,
dan makan, serta stipendium romo bisa kita usahakan?”
Ini bukan semata bicara uang. Ini tentang
menggunakan uang sebagai sarana membangun kesadaran akan kemandirian,
menumbuhkan kepercayaan diri, komitmen mengusahakan, bekerja sama, dan
menggembleng mental totalitas. Bahwa proses itu penting untuk mendapatkan
hasil.
Darah muda mereka mendidih cepat. Mereka
sanggup mencari dana dengan berbagai cara: jualan dimsum, mengumpulkan barang
bekas dan menjualnya, jualan daging babi, hingga menawarkan jasa cuci motor dan
mobil. Jika tak siang, mereka melakukannya sore hingga malam. Kami temani
mereka.
Lingkungan kami beranggotakan
keluarga-keluarga muda. Yang tak lagi muda pun berjiwa muda. Darah mereka ikut
hangat menyambut anak-anak mereka yang bekerja penuh semangat. Dagangan
anak-anak laku terjual. Biaya tercukupi.
Karya Allah? Tentu saja. Sebagai orang
Katolik kami sepenuhnya percaya pada penyelenggaraan Ilahi. Lewat anak-anak
remaja kami Allah bekerja. Dicurahi-Nya energi sukacita.
Malam keakraban jadi malam mereka. Kami
hanya beri pengantar, lalu mereka jalan sendiri. Kakak-kakak dan adik-adiknya
menyatu. Mereka sendiri yang memimpin permainan. Mereka sendiri yang
merefleksikan. Eka, OMK yang sudah pengalaman memimpin teman-temannya di
kampus, dengan gayanya, menampar adik-adiknya ketika mereka terjebak dalam
permainan “kapal pecah”, yakni ketika mereka tidak kompak, dengan pertanyaan
retorik, “Apa ini yang kalian mau?”
Ayu, Ketua OMK Lingkungan Santo Gregorius
Agung, yang keesokan paginya menyerahkan estafet kepemimpinannya kepada Adit,
melebur menyatu sebagai peserta. Ia yang pemimpin mencontohkan kepada adik-adik
OMK baru yang sebelumnya masih tergabung di PIR bagaimana seorang pemimpin pun
mau dikerjain, eh, dipimpin.
Melihat itu semua, kami mengendorkan diri.
Membiarkan mereka berdinamika sendiri. Termasuk, membiarkan mereka mengatur
waktu sendiri. Konsekuensinya, molor waktu. Acara api unggun selesai tengah
malam. Renungan singkat yang kami rancang untuk mengikat acara hari itu kami
persingkat sesingkat-singkatnya, “Tadi, Adit sudah menyampaikan, kalau ada chat
di grup WA itu ya mbok dibalas. Itu saja cukup. Kalian nggak suka kan
diceramahin orang tua?”
Esoknya Romo Bobby Steven MSF memberi
homili menarik dalam misa Minggu di pengujung acara kami. Ia mengajak Frater
Bagus MSF dan Frater Mario MSF untuk mengisi homilinya dengan mengajak kami
bermain bersama. Satu orang membubuhkan satu garis, berantai, hingga di orang
ke-12 terbentuklah suatu gambar utuh.
Ada dua pesan dalam homili itu. Satu,
caranya, percayakan pada yang muda. Bermain bersama. Dua, berjalan bersama
lebih baik daripada sendiri. Sendiri hanya jadi satu garis, bersama jadi satu
citra.
Syukur kepada Allah boleh berjalan bersama
anak-anak dan orang muda Katolik.(AA Kunto A)
Posting Komentar untuk "Gen Z yang Tak Gengsi Wujudkan Apa yang Mereka Maui"